Minggu, 11 April 2010

OPINI

Polisi dan Media Massa

Sejak peristiwa pengeboman Hotel JW Mariot dan Ritz Carlton pada 17 Juli lalu, media massa gencar memberitakan dengan berbagai sisi analisis dan versi. Apalagi media massa elektronik televisi yang punya daya jelajah dan kecepatan menembus batas ruang dan waktu. Beberapa hal dapat kita kaji bahwa dampak pemberitaan kasus teroris di Indonesia sangat vulgar. Antara lain, beberapa televisi swasta yang melakukan investigative depth reporting secara terus-menerus menyajikan vis cctv dua hotel tersebut bisa berdampak buruk, yaitu mengajari penjahat (teroris) makin pintar?

Pers memberitakan setiap detik perkembangan penyelidikan dan penyidikan sehingga membuat penyidik kebingungan karena hasil penyidikannya langsung dilansir media. Muncul pertanyaan. Bagaimana seyogianya media massa memberitakan kasus teroris? Kasus teroris termasuk extraordinary crime , cara penyajian beritanya pun harus extraordinary ? Contoh Amerika Serikat negara paling demokratis memperlakukan kasus teroris sangat ketat, penyidikannya tidak bisa diakses media juga tempat penahanan para tersangka teroris tak boleh diakses media massa.

Lazarsfeld, kriminolog AS, mengajukan pertanyaan provokatif. Sejauh apa pengaruh liputan kejahatan (kriminalitas) melalui media massa? Lazarsfeld menyimpulkan, liputan kriminalitas oleh pers memang bukan penyebab utama ( causing factor ), tetapi menjadi faktor pendukung ( countributing factor ) tumbuh dan berkembangnya kriminalitas yang makin pintar dan canggih.

Berangkat dari sini, kita jadi tahu, peliputan kejahatan oleh media massa, ternyata juga dapat menjadi semacam 'kursus' bagi penjahat atau para kandidat penjahat. Mungkin ini salah satu sisi negatif pers, kalaulah tak mau disebut akibat kesembronoan pers dalam menyajikan berita kriminalitas. Beberapa kasus kejahatan hasil penyidikan polisi, pelakunya menyatakan, kejahatan tersebut diilhami dari pemberitaan pers, juga dari film serial televisi. Tentu ini sangat menarik dikaji lebih mendalam.

Peradaban
Kepolisian menjadi sumber berita yang tak pernah kering. Tugas dan pekerjaan polisi memiliki kadar human interest sangat tinggi. Tetapi, hendaknya dengan arif kita bertanya, seyogiakah setiap kejahatan disajikan secara rinci? Ada adagium populer Crime is the shadow of civilization (kejahatan bayang-bayang peradaban). Penyajian kejahatan di media, secara tidak langsung ikut memengaruhi mutu pers. Semakin pers mampu menyeleksi secara ketat kasus kejahatan mana yang bisa diberitakan atau diulas menunjukkan pers tersebut bermutu tinggi.

Contoh pers Barat yang masyarakatnya lebih maju. New York Times , misalnya, dengan oplah 40 halaman setiap hari, berita tentang kriminalitas paling banyak hanya 2 buah. Bandingkan dengan pers di Indonesia, hampir 30 persen beritanya tentang kejahatan, bahkan ada koran nyaris 100 persen memberitakan kasus kejahatan. Hendaknya pihak pers menyadari jika pemberitaan kejahatan secara menggebu-gebu, lebih banyak negatif ketimbang positif. Setidaknya mengganggu penyidikan, dapat membingungkan atau meresahkan masyarakat dan bahkan menggagalkan pembangunan, terutama di sektor pariwisata dan para investor asing. Data yang kita catat, banyak investor asing lari dari Indonesia, demikian pula calon wisata asing yang membatalkan kunjungannya.

Dua kutub
Ada dua kutub yang berbeda antara media massa dengan polisi dalam penyajian berita kriminalitas. Perbedaan paling dominan adalah pihak pers ingin menyajikan berita tentang kriminalitas secara rinci, detail, dan cepat segera. Sedangkan, pihak kepolisian tidak menghendaki demikian. Alasannya, berita kriminalitas secara rinci dan detail dapat menyulitkan proses penyidikan maupun pengadilan dalam rangka criminal justice system .

Dan, penyidikan tak bisa dilakukan segera karena harus membuat terang sebuah kasus yang berupa rimba raya gelap belum diketahui siapa pelaku, korban, saksi, dan bagaimana mengurai alat bukti. Penyidikan menggunakan scientific crime investigation multi disiplin ilmu dilakukan secara cermat dan hati-hati karena di dalamnya menyangkut nasib seseorang dan hak asasi manusia. Namun, kita juga tidak menutup mata berbagai segi positif pers membantu penegakan hukum. Keberhasilan Polri dalam membina kamtibmas melalui media massa juga kita rasakan.

Khusus terhadap sistem penyajian berita kriminalitas yang sering kita jumpai di media massa, ada baiknya kita kaji ulang analis pakar jurnalistik Amerika, Crister Burger (1975). Ia mengatakan, tugas polisi yang sangat rumit itu masih sering ditambah rumit oleh pers, karena pemberitaan yang 'sembrono'. Ini terjadi, karena pada dasarnya seorang wartawan mencari berita bukanlah untuk sumber berita yang ditanyai, melainkan untuk publiknya dan si wartawan ingin memuaskan publik sepuas-puasnya (Christer Burger; How To Meet The Press , Harvard Busssines Review, page 62, 1975).

Karena pers ingin memuaskan publik sepuas-puasnya, lalu ditempuh berbagai cara bagaimana mendapatkan berita walau sering melampaui prosedur yang seharusnya ditaati. Contoh pers mewancarai keluarga korban atau keluarga tersangka di Barat harus dihindari, karena sumber berita macam itu sangat subjektif akan membingungkan publik dan bisa memengaruhi juri di pengadilan. Justru, ini dilakukan pers kita. Sering menjadikan sumber berita subjektif. Kasus pengeboman JW Mariot dan Ritz Carlton pun mengalami nasib yang sama. Bukan hanya membingungkan publik, tapi membingungkan kepolisian yang sedang melakukan penyidikan.

Satu hal penting diketahui, pers Barat meski menganut sistem pers liberal, namun tetap menjunjung tinggi kaidah-kaidah hukum dan peradilan. Tidak mengusik saksi-saksi kejahatan atau pelaku kejahatan yang telah di tangan penyidik demi kepentingan proses peradilan. Bagaimana KUHAP kita? Mementingkan kemanusiaan dengan porsi berlebihan, hak tersangka sangat dominan tanpa melihat kepedihan korban. Mungkin titik ini cukup memengaruhi sistem pemberitaan kriminalitas?

Belajar dari kenyataan ini, jika sistem pemberitaan kriminalitas tak diubah, akan timbul berbagai persoalan. Antara lain, pers akan dapat menyulitkan penyidikan. Pers akan menjadi sarana kursus penjahat dan calon penjahat, pers akan terjebak pada kancah trial by the press .Saran penulis perlu langkah koordinatif antara penegak hukum, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), dan pers memformulasi sekaligus mereformasi permasalahan ini.
opinimedia.blogspot.com

0 komentar:

Posting Komentar